SUMBER:  http://haekalsiregar.wordpress.com/2007/07/25/apa-itu-hadits-shahih/
Mukaddimah
Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan  tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan  Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi,  yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita  yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
2. Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
3. Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
4. Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
Dalam kajian kali ini, kita akan membahas seputar bagian pertama di  atas, yaitu Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
Definisi Shahîh 
Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat)  adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila  diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi)  tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian  lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan  seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga  ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz  (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi
- Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya  telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di  atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
- Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para  periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak  fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
- Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para  periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan  pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan  (kitab)
- Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits  kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan  dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
- Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits  kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab  yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu  hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
Syarat-Syaratnya
Melalui definisi di atas dapat diketahui bahwa syarat-syarat  keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia menjadi hadits yang Shahîh  ada lima:
Pertama, Sanadnya bersambung
Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil
Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith
Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat
Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz
Bilamana salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka  suatu hadits tidak dinamakan dengan hadits Shahîh.
Contohnya
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada  baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya  Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata:
(‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia  berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad  bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar  Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr  pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
1. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para  periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ﻦﻋ  (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan  ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang  digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
2. Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan  Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang  dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl :
a. ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin
b. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh
c. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka  berdua
d. Muhammad bin Jubair : Tsiqah
e. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
3. Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang  lebih kuat darinya.
4. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
Hukumnya
Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan  para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu.  Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh  diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini  tidak Shahîh”
1. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah  bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi  dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab  bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.
2. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh”  adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum  terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita  bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan  bertindak benar.
Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan Merupakan Sanad Yang Paling  Shahih Secara Mutlak?
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu  dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab  perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya  syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya  kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh  karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu  merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian,  sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang  dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam  menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.
Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat  yang paling shahih adalah:
1. Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ;  ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam  Ahmad.
2. Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini  adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
3. Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin  Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
4. Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ;  ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
5. Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang  dinukil dari Imam al-Bukhariy.
Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan Hanya Memuat Hadits  Shahih Saja
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab  Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang  paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’)  untuk menerima keduanya.
Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya?
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy,  disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist  yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling  Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat  intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat  pada kitab Shahîh Muslim.
Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian  hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian  hadits-hadits al-Bukhariy.
Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh  Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama,  yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
Apakah Keduanya Mencantumkan Semua Hadits Shahih Dan Komitmen  Terhadap Hal itu?
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke  dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak  dari pengakuana mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim,  “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat  hanyalah yang disepakati atasnya.”
Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih Lainnya Yang Tidak Sempat  Mereka Berdua Muat?
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat  mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar  adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh  mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata,  “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih  dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di Dalam Kitab  ash-Shahîhain?
1. Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang  diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
2. Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,  sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits  juga.
Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain  Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahîhain?
Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur  seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim,  Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan  lain-lain.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup,  tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang  memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti  Shahîh Ibn Khuzaimah.
Seputar Kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, Shahîh Ibn  Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân
1. al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih  berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari  dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara  keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih  sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam  hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya  Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu  diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang  Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan  hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian  terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya.  Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan  penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan  kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan  perhatian penuh. (Salah seorang yang juga mengadakan pemantauan dan  studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh  Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisinya  adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-)
2. Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak  disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan  bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan  Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit  sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti  al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul  al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan  bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai  keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb  ar-Râwy:1/109)
3. Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn  Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang  sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain  (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena  kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari  Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim? 
Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam  al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain  hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab  tersebut secara penuh.
Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan  yang diterima oleh umat Islam itu?
Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang  bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih.
Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi  hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits  al-Mu’allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak banyak  namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan  muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali.  Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu  kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat  beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap  hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian  terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk ucapan  pasti), seperti dengan ungkapan ﻝﺎﻗ (Qâla/berkata); ﺮﻣﺃ (Amara/memerintahkan) dan ﺮﻛﺫ (Dzakara/menyebutkan);  maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang  yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu  dinyatakan, misalnya ﻥﻼﻓﻝﺎﻗ (si fulan berkata),  maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang  mengatakannya itu]
2. Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti  dengan ungkapan ﻯﻭﺮﻳ (yurwa/diriwayatkan [masa  sekarang]); ﺮﻛﺬﻳ (yudzkar/disebutkan [masa  sekarang]); ﻰﻜﺤﻳ (yuhka/dihikayatkan [masa  sekarang]); ﻱﻭﺭ (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ﺮﻛﺫ  (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat  dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan  kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya  hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama  ash-Shahîh.
Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama  telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling  shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya  persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang  shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
A. Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan  sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
B. Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari  jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah  kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin  Salamah dari Tsâbit dari Anas.
C. Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan  oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai  periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka  (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih  dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih  kepada tujuh tingkatan:
1. Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim  (Ini tingkatan paling tinggi)
2. Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3. Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
4. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan  keduanya tidak mengeluarkannya
5. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara  dia tidak mengeluarkannya
6. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia  tidak mengeluarkannya
7. Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn  Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam  hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân
Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah  menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan  atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas  persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits  yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti  melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap  metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat  mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau  salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân  atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah  diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut  atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan  keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.
Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits,  yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas  keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh  memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang  sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh  keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)
Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan  Hadits ‘Azîz ?
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level  periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat.  Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka  syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua  periwayat pada setiap level periwayatannya?.
Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam  kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat  hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah  hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja).
Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah  dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini  bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
(SUMBER: Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd  ath-Thahân)
Hadis Shahih
1 Apr 2011
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Posting Komentar