SUMBER:http://opi.110mb.com/haditsweb/artikel/hadits_hasan.htm 
Mukaddimah 
Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari       klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi       (Hasan secara independen). 
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar       tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis       apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali       mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan       tentangnya? 
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas       tapi padat, insya Allah. 
Definisi 
a. Secara bahasa (etimologi) 
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah       dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna       al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan. 
b. Secara Istilah (teriminologi) 
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di       kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di       tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga,       dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan       salah satu dari dua bagiannya saja. 
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi       terpilih: 
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits       yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya,       ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh       kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim       as-Sunan:I/11) 
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang       diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang       tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz       (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan       diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang       menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’       at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy],       kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519) 
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang       diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat       (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat       dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan       Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya       ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li       Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah       dan Syarahnya: 29) 
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya,       Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits       Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya.       Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah       definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi       al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara       yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu       dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih       (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya).       Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan       Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang       meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh       banyaknya jalur-jalur periwayatannya.” 
Definisi Terpilih 
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar       dalam definisinya di atas, yaitu: 
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh       periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya),       dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata       rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz)       ataupun ‘Illat di dalamnya.” 
Hukumnya 
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan       hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia       berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua       ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya.       Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul       menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari       ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara       ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah       mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti       al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai       pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang       sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160) 
Contohnya 
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata,       “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin       Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu       ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy,       dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di       dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda,       “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan       pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan       jihad:V/300) 
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat       dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat       dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman       adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan       –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab       Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya       turun dari Shahîh ke Hasan. 
Tingkatan-Tingakatannya 
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan       yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang       lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang       memiliki beberapa tingkatan. 
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan: 
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu:       riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya;       riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn       Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang       dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan       hadits Shahih. 
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an       dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin       ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan       semisal mereka. 
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang 
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya” 
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih       sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini       adalah hadits Shahih.” 
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang       Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini       adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan       sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya       Syudzûdz atau ‘Illat. 
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits       Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada       kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada       hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah       hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi       jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat       keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat       dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan       ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits       itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua       hal ini lebih lanjut. 
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak       hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan,       “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan      ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu       hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah       matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah       bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada       Syudzûdz. 
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama 
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh” 
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak       membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari       hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya       padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini,       para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas       maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling       bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui       oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah: 
1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur       transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya       adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad       dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.” 
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya       adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut       sekelompok ulama yang lain.” 
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan       persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap       hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat       dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya. 
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh      
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”       
Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam       al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan       kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab       ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh”       dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat       kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan       at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan,       “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan       istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam       kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh,       Hasan, Dla’îf dan Munkar. 
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy       mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang       pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui       benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di       dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits       dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.” 
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya 
Dapat Ditemukan Hadits Hasan 
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara       terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja       sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di       dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada       beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits       Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah: 
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal       dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan      induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab       at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini       di dalam bukunya dan orang yang paling banyak       menyinggungnya. 
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak       naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau,       “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu       harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah       ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan       naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya. 
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu       Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya       kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits       Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya.       Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau       menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia       hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita       mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau       jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama       terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut       Abu Dâ`ûd. 
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak       sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.      
(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr.       Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)
Hadis Hasan
1 Apr 2011
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Posting Komentar