Samuudera Ilmu official website | Members area : Register | Sign in

Cermat Menghadapi Ujian

9 Jun 2011

Hidup ini diciptakan penuh dengan ujian. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sebagai makhluk Allah SWT harus menempuh dan menjalani ujian tersebut. Kadangkala ujian datang dalam bentuk kesusahan, namun di lain waktu ia datang dalam bentuk kemudahan yang selalu menipu. Namun, hal penting yang harus selalu kita ingat adalah bagaimana cara kita menyikapi setiap ujian yang datang.

Ujian dalam bentuk kesusahan misalnya, Allah SWT telah menerangkan pada hambanya bahwa ia akan menguji kita dengan rasa lapar, kehilangan makanan, kehilangan kerabat dan sebagainya. Allah SWT berfirman:

Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 155)”

Ujian seperti ini adalah ujian yang amat jelas. Dimana saat kita dihampiri ujian berupa rasa lapar, sakit, kemiskinan, hujan yang tidak juga turun, dapat penguasa yang zalim, sebahagian besar dari kita akan langsung menyadari bahwa ini adalah ujian dari Allah SWT. Begitu ujian datang, kita langsung mengadu kepada Allah SWT, memohon bantuan-Nya.
Ujian seperti ini obatnya adalah sabar, sehingga ia mendapatkan pahala yang banyak dari sisi Tuhannya. Allah Swt berfirman dalam surat AzZumar;10:…..Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Di sisi lain, kita sering pula dihampiri oleh berbagai kenikmatan dan kemudahan duniawi. Tak jarang dari mereka yang tidak menyadari bahwa  ini merupakan bentuk ujian dari Allah SWT. Sehingga mereka lembat laun menjauh dari Allah SWT yang maha pemberi nikmat. Bahkan, tidak jarang , ada yang tidak lagi bersyukur kepada Allah SWT, meninggalkan shalat, bahkan sampai berbuat maksiat.

Disinilah terlihat kelemahan manusia. Tatkala kesusahan datang menyerang, mereka langsung mengadu kepada Allah swt. Namun, mereka akan melakukan yang sebaliknya bila mereka dihampiri oleh berbagai kemudahan.

Ujian seperti ini –menurut saya- obatnya adalah syukur. Dengan bersyukur, kita senantiasa yakin bahwa segala nikmat yang ada adalah dari Allah SWT. Mereka yang benar-benar bersyukur tentu tahu bagaimana dan untuk apa segala kenikmatan ini diberikan. Mereka akan menggunakan segala rezeki sesuai dengan kehendak Allah dan diniatkan untuk beribadah kepada-Nya. 

Satu hal yang menjadi masalah adalah ketika kita tidak siap menghadapi ujian. Oleh karena itu kita harus senantiasa untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Karena ujian dari Allah kadang terduga dan sering tidak terduga. Kita mesti bersyukur karena kita telah dipilih oleh Allah yang maha bijaksana sebagai manusia yang akan menghadapi ujian. Bentuk syukur itu antara lain adalah mempersiapkan diri sebaik baiknya, baik itu persiapan ruhiyyah, mental maupun fisik, untuk menghadapi ujian itu.

Terakhir saya mengutib hadis Rasulullah SAW yang artinya: ”- Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan baginya maka dia diuji (dicoba dengan suatu musibah). (HR. Bukhari).”.
 
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa kita manusia selalu dikehendaki kebaikan oleh Allah SWT. Namun tak jarang  ia selalu ada di berbagai ujian yang senantiasa menghampiri kita. Jangan takut hadapi ujian. Majulah tiada gentar, untuk menuai setiap kebaikan yang mesti kita gali deri setiap ujian.

Wallahu ’alamu bi ashawab                                                               10 juni 2011
Ditulis di kantor Telkom Indonesia- Cibinong, Jabar. Saat liburan bersama abang sepupu yang bekerja di kantor ini

Sebungkus Biskuit

31 Mei 2011

Di suatu sore, tampaklah seorang wanita muda sedang berdesak-desakan menunggu antrian untuk chek-in, di sebuah bandara yang sangat sibuk. Setelah chek-in, wanita tersebut membeli sebungkus biskuit di sebuah kantin, lalu menuju ke ruang tunggu penumpang dan duduk di samping seorang pria yang sedang membaca koran.
Setelah duduk, ia mulai melahap biskuit yang ada disampingnya. Biskuit itu terletak antara pria dia dan pria tadi. Namun, betapa terkejutnya wanita itu di saat pria tadi juga ikut mengambil dan melahap biskuit tanpa izin darinya.
Dalam hati, wanita itu hanya menduga bahwa pria itu hanya iseng terhadap dirinya. Namun kejadian itu kembali berulang,. Setiap kali wanita itu mengambil biskuit, si peria ikut mengambil dan malahap biskuit itu. Namun, ia tetap menahan amarahnya yang semakin naik agar nantinya tidak salah tingkah. Kerana ia sadar bahwa ia sedng brada di sebuah bandara yang ramai dan sibuk.
Beberapa saat kemudian, tinggallah satu biskuit yang tersisa. Pria misterius itu-tanpa ada perasaan bersalah- menawarkan satu keping biskuit yang tersisa itu.dengan wajah memerah kejengkelan, si wanita menjawab ketus “tidak usah, terima kasih”. Seketika itu juga, biskuit ang terakhir itu masuk dilahap si pria, bunyi gemeletuknya membuat wajah si wanita memerah padam . “dasar tak tahu malu..”
Jadwal keberangkatanpun tiba. Si wanita langsung bergegas menuju pesawat, meninggalkan pria misterius tadi. Saat berada di dalam pesawat, wanita itumembuka tasnya untuk menonaktifkan HP miliknya. Namun, betapa terkejutnya dia, saat melihat saat melihat ada sebungkus biskuit tergeletak di dalam tasnya. Pikirannya langsung melayang mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Ternyata biskuit yang ia makan tadi bukan lah biskuit miliknya. Ia begitu malu dan merasa menjadi orangyang paling bodoh dan tolol sedunia.

By: Muhammad Aqil Rabbani

Kelok Ampek Puluah Ampek

30 Mei 2011

Demi sebuah Kartu keluarga, aku rela harus mengurusnya ke daerah yang tak pernah ku kunjungi sebelumnya. lubuk Basung. aku harus mendapatkan kartu keluarga itu agar aku bis a mendapatkan ktp, karena aku sudah berumur 17 tahun.

selain itu, dengan KTP, aku bisa mengurus segala surat yang menjadi syarat masuk ke perguruan tinggi, seperti SKCK dari kepolisian, surat medical chek up, dan lain-lain.



siang itu aku berangkat ke lubuk basung naik minibus HARMONI. bus in berwana kuning, kesannya terang, dan sopirnya berperawakan besar dan bengis. selain itu kesan mobil ini terasa panas, jauh dari kesan HARMONI, sesuai namanya.



meskipun begitu, aku sangat menikmati perjalananku ke lubuk basung. aku sangat penasaran dengan daerah yang satu ini, terlebih lagi dengan apa yang dikatakan orang dengan kelok ampek puluah ampek, empat puluh empat kelok patah, karena aku belum pernah melewati daerah ini sebelumnya.



setengah jam perjalanan, akhirnya aku melihat suatu palang di pinggir jalan. Palang itu bertuliskan "KELOK 44". aku yakin saat itu, inilah yang dinamakan dengan kelok ampek puluah ampek. aku terkesan sendiri. ternyata benar kata orang, keloknya benar-benar patah. keloknya berputar putar. kulihat danau maninjau dari atas, seketika itu juga aku merasakan bahwa danau maninjau ini bagai sebuah kuali. Bus yang kutumpangi merayap menuruninya, mengikuti 44 kelok patah, berkelok seakan berputar-putar, lambat laun perutku terasa kosong, dadaku naik, namun aku berusaha menahannya. alhamdulillah, cairan itu tidak jadi keluar.



akhirnya aku melihat palang bertuliskan KELOK 1, aku disambut oleh pemandangan yang amat menakjubkan, di samping kiri ku lihat danau maninjau berkilau kilau, memantulkan cahaya mentari. Sedangkan di sebelah kanan kulihat bukit hijau berbaris-baris, menyedapkan mata. Oh Maninjau yang permai. Akhirna ku bisa melihatmu dari dekat, meski hanya sekedar lewat.....





by : Muhammad Aqil Rabbani



rabbani the geart heart



http://samuderailmuagama.blogspot.com/

DI SINI JUAL IKAN SEGAR

22 Mei 2011



 Seseorang mulai menjual ikan segar di sebuah pasar yang ramai. Ia memasang sebuah papan reklame yang besar dan menuliskan: “DI SINI JUAL  IKAN SEGAR”.
Selang beberapa waktu kemudian, datanglah pembeli pertama. Ia memesan satu kilo ikan tuna. Sambil menunggu pesanan itu di bungkus, ia menanyakan papan reklame itu:
“mengapa kau menuliskan kata “DI SINI”??, bukankah semua orang sudah tahu bahwa kau berjualan DI SINI, bukan DI SANA?”
“benar juga…”, pikir si penjual. Ia pun menurunkan papan reklame itu dan menghapus kata DI SINI.
Beberapa saat setelah itu, pembeli kedua pun dating  ia juga memesan sejumlah ikan tuna. Sambil menunggu ikan-ikan itu dibungkus, ia juga menanyakan perihal reklame itu:
“Mengapa kamu menulis JUAL IKAN SEGAR?. Bukankah semua orang sudah tahu bahwa kau menjual IKAN SEGAR, bukan IKAN BUSUK??”
“Benar juga…”, kali ini ia mendesah. Si penjual itu langsug menurunkan papan reklame dan menghapus kata SEGAR.
Tak lama setelah itu, datanglah pembeki ketiga. Pembeli ini juga berkomentar soal papan reklame si penjual ikan:
“Kenapa kau pajang papan reklame itu dengan tulisan JUAL Ikan?, bukankah semua orang disini sudah tahu bahwa ikan ini untuk DI JUAL, bukan DIPAMERKAN? “
Benar juga, pikir si penjual. Iapun melakukan hal yang sama dan menghapus kata JUAL.

Pesan cerita:
Seri ng sekali kita melihat opini orang lain, bahlan sertamerta mengikuti opini-opini tersebut secara sempurna, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dalam memlilih sesuatu.
Namun kitalah yang paling tahu dengan diri kita sendiri. Kitalah yang paling verkuasa terhadap hati dan kehendak kita. Dan tentu saja,  kitalah yang pailing tahu apa yang sesuai dan baik untuk diri kita.
Jadilah diri sendiri, dan jangan terlalu menuruti segala opini yang datang dari orang lain. Salah seorang ustadz saya pernah berkata;” jangan terlalu menuruti opini orang lain, karena tidak ada orang yang sempurna, semua orang pernah melakukan kesalahan,”
Semoga poara pembaca mendapat hikmah dari cerita ini.


Menjaga Lisan

21 Mei 2011

Orang Indonesia Punya Pepatah :”air beriak tanda tak dalam”, yang berarti orang yang banyak cakap, biasanya tidak berisi. Dan hal itu tentu telah diketahui oleh orang banyak. Khususnya  kalangan terdidik.namun banyak di antara kita yang terjebak dalam situasi yang mirip dengan pepatah di atas. Sering kita lihat masyarakat indonesia di berbagai tempat, sering mencemooh orang lain tatkala bekerja, padahal ia sendiritidak akan mampu melakukannya, semaksimal orang yang ia cemooh tadi. Misalnya: banyak karyawan perusahaan yang berkomentar buruk di belakang pemimpin mereka. Namun akan bertindak sebaliknya tatkala mereka sedang berhadapan dengan bos mereka. Demikianlah karakter masyarakat indo nesia ini, selalu terjebak dengan situasi seperti yang didambarkan pada pepatah di atas.
Perlu di ketahui, bahwa kualitas seseorang bisa di ukur dari kemampuannya menjaga lidah. Maka orang yang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. Allah SWT berfirman:


Yang artinya: “wahai Orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah Kalian berkata dengan kata –kata yang benar.”(QS; Al-ahzab : 70). Sementara itu Rasulullah SAW bersabda:
Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari akhir, hendaklah iaberkata baik dan benar atau diam”(HR: Bukhari - Muslim)
Nabi Muhammad adalah pribadi yang jarang berbicara, jarang berkomentar. Namun sekali berbicara , dengan izin allah, ucapan beliau dapat dipastikan kebenarannya. Ucapannya adalah bagaikan intan dan untaian mutiara yang cemerlang, indah, bermutu dan memiliki nilai. Hal itu bukan daja disebabkan oleh posisi beliau sebagai nabi dan rasul penyampai wahyu Allah, namun lebih dari itu.beliau sejak kecil dikenal dengan delar Al-amin, tidak pernah berkata dusta sekecil apapun. Bahkan sangat disebutkan bahwa Rasulullah sangat menjaga canda dan senda guraunya dari hal-hal yang mengarah kepada dusta.
Ada suatu keterangan menarik. Disebutkan bahwa ada empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya:

Pertama: orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya syarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu dan sebagainya. Orang seperti ini tentu bermanfat bagi dirinya, lawan bicaranya, maupun orang lain yang mendengarkan. Setiap pembicaraannya tentu berujung pada manfaat.

Kedua: orang yang biasa-biasa saja. Yaitu orang yang selalu sibuk membicarakan peristiwa . mendengar pasangan selebriti yang bercerai saja, gosipnya minta ampun. Prinsip”pokoknya bunyi” bear-benar dipegang secara kuat
.
Ketiga: orang rendahan: dimana segala isi pembicaraannya berawal dari mengeluh, memuncak dan sampai pada tujuan yang sama; MENGELUH. Setiap kali dapat ujian, selalu saja mengeluh. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Allah itu tidak adil. Nauzubillahi min dzalik.

Keempat: orang yang dangkal. Adalah orang yang tiada bosan mengekspose diri,  jasa, kebaikan dan prestasinya. Dia selalu ingin lebih tampak lebih dari orang sekitarnya. Bahkan, ia rela berkomentar jelek terhadap orang lain, semata-mata agar dirinya tampak lebih menonjol dari orang sekitarnya.
Oleh karena itu, sebagai orang beriman, hendaklah kita berhati hati dan selalu menjaga lidah kita. Semoga dengan usaha yang gigih untuk berhati-hati, kita termasuk dalam golongan yang pertama, dan terhindar dari golongan kedua, ketiga, apalagi golongan keempat sebagai orang yang dangkal.

Wallahu ‘alam bi ash shawab




Tafsir Muqaran ( metode Komparasi )

28 Apr 2011





http://daniexe.blogspot.com/2009/04/pendahuluan-al-quran-merupakan-wahyu.html

PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun yang bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat yang lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa menyingkap ibrah yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah menganggap beberapa ayat cenderung membosankan karena memiliki redaksi yang tidak jauh berbeda.
Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa ayat al-Quran hanyalah merupakan sebuah tikrar ( pengulangan redaksi ). Padahal, tidak jarang terdapat hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal itu akan mengantarkan orang yang tekun dalam menganalisisnya pada sebuah formulasi pemahaman dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penafsiran dengan metode yang bisa mengidentifikasi serta mengakomodasi ayat-ayat yang dipandang mirip untuk kemudian dianalisis dan ditemukan hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di dalamnya juga akan mewarnai dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa dipahami bahwa setiap ayat memiliki kelebihannya masing-masing.
Pada tataran itulah, kehadiran metode penafsiran ayat-ayat yang beredaksi sama ataupun mirip secara muqaran, dianggap penting. Dalam kajian sederhana ini, pembahasan tafsir muqaran diorientasikan dan difokuskan pada komparasi antar ayat. Komparasi antar ayat berarti membandingkan beberapa ayat yang dianggap memiliki kecenderungan persamaan redaksi maupun kasus atau sebaliknya.

A. Definisi dan Pengertian Metode Tafsir Muqaran

Metode Tafsir muqaran adalah “ membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama ”. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan sebagian yang lainnya, yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Al Kumi, menyatakaan bahwa tafsir muqaran antar ayat merupakan upaya membandingkan ayat-ayat Al-Quran antara sebagian dengan sebagian lainnya. Selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat al Farmawi yang mendefinisikan tafsir muqaran antar ayat dengan upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara masalah yang sama.
Nasruddin Baidan menyatakan bahwa para ahli ilmu tafsir tidak berbeda pendapat dalam mendefinisikan tafsir muqaran. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode muqaran antar ayat ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
Syahrin Harahap menjelaskan bahwa tafsir muqaran antar ayat adalah suatu metode mencari kandungan al-Quran dengan cara membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, yaitu ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah/kasus yang sama atau yang diduga sama.
Ke empat definisi di atas cukup jelas kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa tafsir muqaran antar ayat merupakan pola penafsiran al-Quran untuk ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi maupun kasus atau redaksinya berbeda, namun kasusnya sama begitu juga sebaliknya.


Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri.

B. Ruang Lingkup Tafsir Muqaran

Secara global, tafsir muqaran antar ayat dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Quran yang memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi, namun ada yang berkurang ada juga yang berlebih. Kedua adalah ayat-ayat yang memiliki perbedaan ungkapan, tetapi tetap dalam satu maksud. kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyat) saja, melainkan mencakup perbedaan kandungan makna masing-masing ayat yang diperbandingkan. Disamping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut, termasuk juga sebab turunnya ayat serta konteks sosio-kultural masyarakat pada waktu itu.


C. Contoh aplikasi dalam ayat al-Quran
1. Ayat-ayat membahas kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda
Seperti misalnya dalam firman Allah dalam surat Al-An'am ayat 151 dengan surat Al-Isra' ayat 31.
Surat Al-An'am ayat 151 :


Artinya : Katakanlah “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). QS. al-An’am ( 6: 151 )


Surat Al-Isra' ayat 31

          •     

Artinya : “ dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. al-Isra ( 17 : 31 )


Dua ayat tersebut membahas kasus yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan, namun redaksinya terlihat berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari segi mukhatab (objek) nya. mukhatab pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga redaksi yang digunakan adalah
(من إملاق ) yang berarti karena alasan kemiskinan. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin”. Sementara itu, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya sehingga redaksi yang digunakan adalah
( خشية إملاق ) yang berarti karena takut menjadi miskin. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu takut menjadi miskin”. Selanjutnya, pada ayat pertama dhamir mukhatab didahulukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak mampu memberikan nafkan kepada anaknya, sebab Allah akan memberikan rizki kepadanya. Jadi, kedua ayat itu menumbuhkan optimisme kepada si kaya maupun si miskin.


2. Ayat-ayat beredaksi mirip yang membahas kasus yang berbeda. Seperti antara surat al-Anfal ayat 10 dengan surat ali-Imran ayat 126.

Surat al-Anfal ayat 10 :

Artinya : “Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. al-Anfal ( 8 : 10 )

Surat ali-Imran ayat 126.



Artinya : “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
QS. ali-Imran ( 3 : 126 )

Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin dalam bertempur melawan musuh.
Variasi yang dapat dilihat adalah:
1. Surat Al Anfal mendahulukan kata  ( bihi ) dari pada ( qulubukum )
2. surat Al Anfal menggunakan kata  ( inna ), sedangkan Al Imron tidak
3. Surat Ali Imran menggunakan kata  ( lakum ), sedangkan Al Anfal tidak
4. Surat Al Anfal berbicara mengenai perang Badar, sedangkan Ali Imron berbicara tentang perang uhud
Variasi keterdahuluan bihi dan penambahan inna dalam ayat pertama dimaksudkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan utama ayat tersbut saat berlangsungnya perang badar. Pada ayat kedua, hal tersebut diduga tidak lagi diperlukan.
D. Kelebihan dan Kekurangan

1. Kelebihan
Diantara kelebihan metode ini secara umum ialah sebagai berikut :
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode yang lain. Didalam penafsiran itu, terlihat bahwa satu ayat al-Quran dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, terasa bahwa al-Quran itu tidak sempit, melainkan amat luas dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat. Semua pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang benar.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi. Dengan demikian, hal itu dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir muqaranah, terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat. Hal itu dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan berbagai pilihan.
c. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran seamcam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran al-Quran bukan bagi para pemula.
d. Dengan menggunakan metode komparatif, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan pola serupa ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat.

2. Kekurangan
Diantara kekurangan metode ini secara umum ialah sebagai berikut:
a. Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal itu disebabkan pembahasan yang dikemukakan didalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
b. metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah. Dengan demikian, jika menginginkan pemecahan masalah, yang tepat adalah menggunakan metode tematik,.
c. metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tidak perlu timbul apabila mufasirnya kreatif. Artinya, dia tidak hanya sekedar mengemukakan penafsiran-penafsiran orang lain, tetapi harus mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya. Degnan demikian dia akan menghasilkan sintesis-sintesis baru yang belum ada sebelumnya.

E. Urgensi dan Manfaat

Seorang mufasir dapat menggali hikmah yang terkandung di balik variasi redaksi ayat, atau dengan kata lain yang lebih tepat, menguras kandungan pengertian ayat-yang barangkali terlewatkan metode lain-sehingga manusia semakin sadar bahwa komposisi ayat itu tidak ada yang dibuat secara sembarang, apalagi untuk mengatakan bertentangan. Pada sisi lain, dapat juga mendemonstrasikan kecanggihan al-Quran dari segi redaksional.
Fenomena ini mendorong para mufassir untuk mengadakan penelitian dan penghayatan terhadap ayat-ayat yang secara redaksional memiliki kesamaan. Dengan begitu, akan tampak jelas kontekstualisasi kandungan ayat tersebut karena hal ini akan efektif menepis anggapan bahwa Tuhan sudah “kehabisan” kosakata dalam melengkapi ajaran qurani atau mungkin beberapa ayat dianggap cenderung membosankan karena terkesan diulang-ulang. Tak satupun ayat yang tersia-siakan karena satu persatunya mengandung hikmah yang perlu dibedah dan ditelisik spesifikasinya. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan kiranya dinyatakan bahwa mendekati al-Quran dari dimensi model tafsir seperti ini akan menambah keteguhan imam seseorang serta akan menguatkan kreativitas bertafakkur.

KESIMPULAN

Dari penjelasan, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Metode tafsir muqaran antar ayat merupakan salah satu cara menafsirkan al-Quran yang spesifikasinya terfokus pada upaya menganalisis ayat-ayat yang beredaksi mirip atau sama, baik dalam satu kasus atau berbeda
2. Langkah yang perlu ditempuh oleh mufassir dengan metode semacam ini sekurang-kurangnya berupa: pertama, identifikasi dan inventarisasi ayat-ayat yang beredaksi mirip atau sama; kedua, komparasi ayat-ayat tersebut untuk menemukan persamaan dan perbedaannya; ketiga, analisis perbedaan yang terkandung di dalamnya untuk kemudian melakukan penafsiran.


DAFTAR PUSTAKA

I. Baidan, Nasruddin , Metode Penafsiran Al-Quran, 2002, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
II. Salim, Mula, Metodologi Ilmu Tafsir, 2005, Sleman : Teras
III. Shihab, Quraisy, Membumikan al-Quran, 1999, Bandung : Mizan
IV. Winarno, Ahmad, http://elhasyimieahmad.multiply.com/reviews/item/31, di sunting pada bulan Juli, tgl. 10

Metode Tafsir Tahlili Dan Ijmali

 
METODE TAFSIR TAHLILI DAN IJMALI
(Sebuah Studi Kritis)
Nailurrahman dan Shalehuddin
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
 
 
Pendahuluan
al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metodemuqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili danijmali, mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya.
Metode Tahlili
Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Ada dua ciri utama dalam metode tahlili:
Pertama, tafsir bi al ma’thur, yaitu penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’thur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir al-Qur’an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzulnasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsirbi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an, karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitabMafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi ijtima’i merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili
Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.
Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.
Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.
Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahliliPertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus. Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan kesenjangan antara ajaran al-Qur’an yang berupa pedoman hidup dengan pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah swt. Sebab tuntunan Allah yang sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an kurang memasyarakat karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam, karena penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga tidak bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana menghindari kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham tuntunan Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan beranggapan bahwa ajaran itu tidak singkron dengan alam kehidupan pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
al-Farmawi menambahkan, para penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan mnguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara Hasan al-Banna) memberikan komentar terhadap para mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al-Qur’an bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al-Qur’an itu sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu terjalin menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format tertentu.
Kemudian Jamal al-Banna memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan:
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi, balaghah, dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian pertamanya terhadap al-Qur’an misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al-Qur’an (Gharib al-Qur’an), gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al-Qur’an adalah bagaimana menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al-Qur’an menjadi terpisah dari sisi penjelasan dan ulasannya.”
Metode Ijmali
Metode ijmali (global) ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metodeijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan.
Ciri Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlilimuqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada: (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Keistimewan dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada: (1) proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum, (2) terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan (3) bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Adapun kekurangan metode ijmali adalah: (1) menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, (2) tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah; Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani, dan Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti. Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.
Kritik Metodologis
Dalam metode tafsir ijmali, teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi zahir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks.
Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir Jalalayn yang ditulis dengan metode ijmali.
Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode tahlili dan ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti bagi Islam dan kaum Muslimin.
Daftar Pustaka
Al-Banna, Jamal, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, (Terj.) Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Dhahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Mush’ab Ibnu Umair al-Islamiyah, 2004.
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Jalal. Abdul, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir, (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 1987.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Terj.) Taufik Adnan Amal, Jakarta: CV Rajawali, 1991.

Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 17.
Abdul Hayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’iy (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an (Terj.) Taufik Adnan Amal (Jakarta: CV Rajawali, 1991), 265.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 71-72.
Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Maktabah Mush’ab ibnu Umair al-Islamiyah, 2004), 139.
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakik, 71-72.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 24-27.
Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir, 18.
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12.
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern (Terj). Novriantoni Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 38-40.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 24-27

Tajwid

SUMBER:
http://insansejati.com/ilmu-al-quran/67-tajwid.html

  
Tajwid adalah satu fan ilmu yang mempelajari tentang al-Qur'an, dengan tajwid pula bacaan-bacaan kita di anggap benar.Ilmu tajwid adalah Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya dan memberikan hak-haknya huruf (haqqihi) juga (mustahaqqihi) perkara yang mana huruf behak mendapatkannya yakni sifat-sifatnya (sifat huruf).Sedangkan yang dimaksud dengan (Haqqihi) hak-hak huruf adalah suatu sifat yang tetap dan tidak bisa terlepaskan dari huruf seperti contoh sifat hames,jahr,qolqolah dan lain sebagainya, dan (mustahaaqul huruf) adalah satu sifat yang baru datang di sebagian tingkah dan sifat ini bisa hilang karena sebagian sebab seperti contoh tafkhim, tarqiq, idghom dan lain sebagainya. Faedah dari mempelajari ilmu ini adalah untuk menjaga lisan kita atau bacaan kita di dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, ada banyak pendapat dalam pemerkasa atau pembuat qoidah-qoidah tajwid, diantaranya adalah abu aswad al-dauli, ada juga ypendapat yang mengatakan Abu Qosim Ubaid ibnu salam dan masih banyak lagi.
Ada banyak bab dalam ilmu tajwid ini yang wajib kita semua tahu, karena ilmu ini akan berkaitan dengan sholat tepatnya pada rukun membaca Al-Fatihah,dengan memahami ilmu ini maka sholat kita di anggap sempurna.

(maroji'. Akhkamu Tajwid hal.1 )

Site Info