Samuudera Ilmu official website | Members area : Register | Sign in

Kaidah-kaidah Yang Diperlukan Para Mufassir

5 Apr 2011

Share this history on :
SUMBER: http://elfadhi.wordpress.com/2007/03/29/kaidah-kaidah-yang-diperlukan- para-mufassir/




Untuk menerjuni suatu ilmu apa-pun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang sukup tentang ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang diperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, sehingga disaat memasuki detail permasalahannya ia telah memiliki dengan lengkap kunci pemecahannya. Oleh karena Al-Quran Al-Kariem diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan bahasa arab agar kamu memahaminya” (Yusuf: 2), maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Quran terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Dan untuk hal ini semua telah tersedia banyak pembahasan secara rinci dan kajian yang lengkap yang bertebaran dalam berbagai cabang ilmu bahasa arab, namun disini kami hanya akan mengemukakan secara singkat beberapa hal penting yang harus diketahui lebih dahulu.
Damir (kata ganti)
Damir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpulkan oleh para ahli bahasa dari Al-Quran Al-Kariem, sumber-sumber asli bahasa arab, hadis Nabawi dan dari perkataan orang-orang arab yang kata-katanya dapat dijadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazam) maupun prosa (nasar). Ibn al Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas damir-damir yang terdapat dalam Qur’an
Pada dasarnya, damir diletakkan untuk mempersingakat perkataan, ia berfungsi untuk mengggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna. Tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, damir “hum” pada ayat “A’addallahu lahum maghfiratan waajran adziiman” telah menggantikan dua puluh kata. Jika kata-kata itu diungkapkan bukan dalam bentuk damir, yaitu kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat : (al Ahzab : 35)
Setiap damir gaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli nahwu mmemberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa damir mutakalim (orang pertama) dan damir mukhatab (orangf kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang dilingkupinya, tidak demikian halnya dengan damir gaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali damir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, ” damir gaib” tidak boleh kembali kepada lafaz yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya.” Dari kaidah ini dikecualikan beberapa hal yang didalamnya damir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafaz yang mendahulinya atau oleh keadaan lain melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya at Tashil menyatakan, ” kaidah menetapkan tempat kembali (marji’) damir gaib itu haris didahulukan. Marji’ ialah lafaz yang terdekat dengannya, kecuali bila dalil yang menunjukkan lain. Terkadang marji’ untuk dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunjukkan kapada damir, atau karena telah disebutkannya sesuatu yang merupakan bagian marji’, keseluruhannya, imbangannya, atau yang menyertainya, dalam bentuk apa apun jua : ” dengan demikian damir gaib adalah lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum , seperti dalam firmanNya: (Hud : 42) atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh damir, seperti dalam firmanNya ( al Maidah : 8) damir “Huwa” disini kembalinkepada keadilan, al adlu yangvterkandung dalam lafadz I’dilu jadi arti selengkapnya keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Atau lafadz yang mendahuluinya itu mrnunjukkan kepada damir berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti (al Baqarah: 178). Damir pada kata “Ilaihi” kembali kelafaz ‘al ‘afi (orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafaz ‘ufiya’ (dimaafkan)
Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah damir itu sendiri, namun hal ini hanya dalam pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan katanya) seperti dalam (Taha : 67). Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan meupun kedudukannya sebagaimana terdapat dalam damir sya’n, damir qisah, ni’ma dan bi’sa, misalnya firman Allah : ( al Ikhlas : 1) , ( al Anbiya: 97) , ( al Kahfi: 50) , dan (al A’raf: 177). Selain itu ada pula lafaz yang datang sesudah damir menunjukkan marji’ damir itu, seperti pada firman Allah: ( al Waqi’ah: 83). Damir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafaz ” al hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi : ‘falau laa idzaa balaghatir ruuhul hulquum’.
Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada : (ar Rahman: 26), maksud lafaz “‘alaiha” ialah ”alal ardi’ , (al Qadar: 1) yakni “Anzalna al qur’an” , (Abasa: 1) yakni “Nabi saw” dan ( Hud : 13) damir “wawu” pada lafaz ‘yaquuluun’ kembali kepada “orang-orang musyrik” dan damir fa’il lafaz “iftara” kembali kepada “Nabi”, sedang damir maf’ulnya kembali kepada “al Qur’an”.
Damir terkadang kembali kepada lafadz, bukan kepada makna, seperti dalam firmanNya (Fatir : 11), damir pada ” umurihi” kembali kepada lafaz “mu’ammar” namun yang dimaksud adalah “mu’ammar” yang lain. Berkata al Farra’: yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain bukan mu’ammar yang pertama , tetapi ia dikinayahkan dengan damir seakan- akan ia adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini jika lafaz itu ditampakkan maka sama persis dengan lafaz pertama, sehingga akan berbunyi ” wa al yunqasu min ‘umuri mu’ammar” . jadi jelaslah bahwa damir pada “min ‘umurihi” kembali kepada lafaz “mu’ammar” yang lain, bukan mu’ammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “‘indi dirhamun wa nisfuhu” (aku mepunyai satu dirham dan separuhnnya) maksudnya separuh dirham yang lain.
Damir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada : (an Nisa; 176), damir pada “kanata” tidak didahului oleh lafaz tasniyah sebagai marji’nya, hal itu karena kata “kalalah” dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jamak. Jadi pen-tasniyah-han damir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan kepada maknanya. Juga seperti : (an Nisa’: 4). Damir pada kata “minhu” kembali kepada makna “as Saduqat” sebab lafaz ini semakna dengan “as Sidaq” atau “ma us diqa” (sesuatu yang dijadikan mahar) . ayat ini seakan akan berbunyi ‘wa utun nisa a shidaa qahunna aw maa ashdaq tumuu hunna” (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang damir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian di beri predikat (kahabar) dengan lafaz yang menjelaskannya, seperti : ” in hiya illa hayaa tunad dunyaa” (al An’am: 29), juga terkadang ia ditasniyahkan padahal ia kembali pada salah satu dari dua hal yang telah disebutkan, misalnya : ‘yakhruju minhuma lu’lu’u wal marjaanu’ (ar Rahman: 22). Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu laut dua ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az Zujaj dan yang lain.
Damir terkadang juga kembali sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat “Lam yal bisyuu illa asysyiyatan aw duhaha” (an Naziat: 46) yang dimaksud dengan damir “ha” pada lafaz “duhaha” ialah “duha yau miha” (waktu duha hari itu), bukan ” duha al asyiyah” (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu duha.
Selain itu, dalam penggunaan damir mula-mula yang diperhatikan adalah segi lafaz, namun kemudian segi maknalah yang diperhatikan. Ini seperti terlihat pada (al Baqarah : 8). Damir pada “yaqulu” dimufradkan berdasarkan pada lafaz “man” kemudian pada lafaz ” wa ma hum” dijamkkan berdasarkan pada maknanya.
Ta’rif dan Tankir ( Isim Ma’rifah dan Nakirah)
A. Penggunaan isim nakirah
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: 1.
untuk menunjukkan satu, seperti pada surah (Yasin :20). “rajulun” maksudnya adalah seorang laki-laki 2.
untuk menunjukkan macam, seperti surah ( al Baqarah: 96), yakni sesuatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang. 3.
untuk menunjukkan “satu” dan “macam” sekaligus. Misalnya pada surah (an Nur: 45). Maksudnya setiap macam dari dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah. 4.
untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, seperti: (al Baqarah: 279). Maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat. 5.
untuk menunjukkan arti banyak, seperti pada ayat “a inna lana la ajran” (asy-Syuara’:42). Maksud ‘ajran’ ialah pahala yang banyak. 6.
untuk membesarkan dan menunjukkan banyak (gabungan no 4 dan 5) misalnya : (Fatir: 4). Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya. 7.
untuk meremehkan, misalnya (‘Abasa: 18). Yakni dari sesuatu yang hina, rendah dan teramat remeh. 8.
untuk menyatakan sedikit, seperti dalam surah ( Bara’ah: 72). Maksudnya keridhaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar dari pada surga, karena keridahaan itu pangkal dari segala kebahagiaan.
B. Penggunaan isim ma’rifah
Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya. 1.
ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhattab maupun gaib 2.
ta’rif dengan ‘alamiah (nama) berfungsi untuk : a)
menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas. b)
Memuliakan seperti pada ayat : “Muhammadun Rasulullah” (al Fath: 29) c)
Menghinakan seperti pada ayat; “tabbat yada abi lahabiwa tab” (al lahab : 1) 3.
ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk ” a)
menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti (Luqman: 11) b)
menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh” seperti (al Baqarah: 5) c)
menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti ; (al Ankabut: 64) d)
memuliakan den gan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada ‘Dzalikal kitabula raiba fihi” (al Baqarah: 2) e)
mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang ditunjuk (musayar ilaihi) yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Misalnya: (al Baqarah: 2-5) 4.
ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi: a)
karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah (al Ahqaf : 17) dan firmanNya : (Yusuf : 23 ) b)
untuk menunjukkan arti umum, seperti firmsn Allah ( al Ankabut : 69) c)
untuk meringkas kalimat, seperti ( al Ahzab : 69) andai kata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentulah pembicaraan (kaimat) itu menjadi panjang. 5.
ta’rif dengan alif lam (al ) berfungsi : a)
untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan ( ma’had zikr) seperti (an Nur : 35) b)
untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar seerti (al Fath : 8) c)
sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir saat itu seperti (al Maidah : 3) d)
untuk mencakup semua satuannya (istighratul afrad), seperti (al ‘Asr: 2). Ini diketahui karena ada pengecualian sesudahnya e)
untuk menghabiskan segala karakteristik jenis seperti :dzalikal kitab” (al Baqarah :2). Maksudnya kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya. f)
Untuk menerangkan esensi, hakikat dan jenis seperti dalam surah (al Anbiya : 30)
Pengulangan Kata Benda (isim)
Apa bila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan: kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah.
1) apa bila kedua-duanya ma’rifah maka pada umumnya yang kedua ialah hakikat yang pertama. Misalnya (al Fatihah : 6-7)
2) jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya ( ar Rum :54). “Du’f” pertama adalah nutfah (sperma), “Du’f” kedua tufuliyah (masa bayi). Sedang “Du’f” yang ketiga adalah ‘syaikhukhah (masa lanjut usia)
kedua macam ini telah terkumpul pada surah (al Insyirah: 5-6). Oleh karen aitu dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata “satu ‘Usr” (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua “Yusr (kemudahan) . hal ini karena kata ‘usr’ yang kedua di ulnagi dengan al (ma’rifah) , maka ia adalag ‘usr’ yang pertama, sedang kata ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa ‘al’.
3) jika yang pertama nakirah dan yang kedua adalah ma’rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. Misalnya dalam surah (al Muzammil: 15-16)
4) jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah. Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda seperti pada firman Nya: (ar Rum: 55). Terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti (az Zumar: 27-28)
Mufrad dan Jamak
Sebagian lafaz dalam Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (muradifnya). Misalnya : kata “al lubb” yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albab, seperti terdapat pada surah (az Zumar : 21). Kata ini tidak pernah digunakan dalam Qur’anbentuk mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu lafadz “al qalb” seperti (Qaf: 37). Dan kata “al kub” tidak pernah dipakai bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, “al akwab” misalnya (al Gasyiyah:14)
Sebaliknya ada sejumlah lafaz yang hanya datang dalam bentuk mufradnya dusetiap tempatdalam Qur’an. Dan ketika hendak dijamakkan maka ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya, seperti terdapat pada surah (at Talaq: 12). Allah tidak berfirman ” wasab ‘a ardin”, karena yang demikian adalah kasaar dan merusak keteraraturan susunan kalimat.
Termasuk kelompok ini ialah “assama ‘u” ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti dalam surah (al Hasyr : 1). Dan jika yang dimaksudkan adalah “arah” maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti (al mulk: 16)
Lafadz “ar-rih” juga termasuk kategori ini, ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad. Pemakaian bentuk jamak dalam konteks rahmat sedang bentuk mufrad dalam bentuk azab. Disebutkan hikmahnya ialah bahwa ” riya hurrahmah” atau angin rahmat itu bermacam-macam sifat dan manfaatnya-dan terkadang sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain-diantaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dalam konteks rahmat ini ia dijamakkan, ” riyaahun”. Sedang dalam konteks azab “rih” atau angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang atau menolaknya.
Ibn Abi Hatim dan yang lain meriwayatkan , Abu Ka’ab berkata : ‘Segala sesuatu yang disebut dengan ‘Arriyah” dalam Qur’an ialah rahmat, sedang yang disebut dengan “ar-rih” adalah azab.oleh karena itu tersebutlah dalam sebuah hadis ” Allahumma ij’alha riyahan wa la taj ‘alha rihan”. Jika tidak demikian maka hal itu karena ada hikmah lain.”
Termasuk kelompok ini adalah lafaz “an nur” yang senantiasa di mufradkan dan lafaz “az zumulat” yang senantiasa jamak. Juga lafaz “sabil al haqq” yang selalu di mufradkan dan “sabil al batil” yang selalu jamak. Ini karena jalan (sabil) menuju kebenaran itu hanya satu sedang jalan menuju kebatilan banyak sekali dan bercabang-cabang. Dengan alasan seperti ini lafaz “walliyul mu’minin” dimufradkan dan “auliya’ul kafirin” dijamakkan, seperti terlihat dalam : (al Baqarah 257) dan ( al An’am: 153)
Lafaz ” al masyriq” dan “al maghrib” juga termasuk kelompok ini. Keduanya disebutkan dalam bentuk mufrad, tasniyah dan jamak. Pemakaian bentuk mufrad karena mengingat arahnya dan untuk mengisyaratkan kearah timur dan barat, seperti dalam ayat : “rabbul masyriqaini warabbul maghribaini” (ar Rahman : 17) . sedang bentuk jamak digunakan mengingat keduanya ialah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari, seperti dalam ayat : “fala uqsimu birabbil masyariqi wal magharibi” ( al Ma’arij: 40)
Mengimbangi Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad
Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam surah ( Nuh: 7). Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti (al Baqarah: 233). Maksudnya masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi setiap individu yang terkena hukuman, seperti: (an Nur : 4). Maksudnya ialah deralah setiap orang dari mereka sebanyak bilangan tersebut. Disamping itu terkadang kedua maksud tersebut dapat diterima, namun dalam hal ini perlu ada dalil yang menenyukan salah satunya.
Adapun mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demiakin dapat saja terjadi. Misalnya (al Baqarah : 1840. maksudnya ialah setiap orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin setiap hari.
Kata-kata yang Dikira Mutaradif (sinonim), tetapi Bukan
Diantaranya adalah “al khauf” dan “al khasyyah”. Makna “al khasy yah” berarti lebih tinggi dari “al khauf”, karena al khasyyah terambil dari kata-kata ‘syajarah khasyyah’ artinya pohon yang kering. Jadi arti al khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan “al khauf” terambil dari kata-kata ‘naqah khaufa’ , artinya unta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan, bukan berarti sirna sama sekali. Disamping itu “al khasyah” adalah rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takuut itu seorang kuat. Dengan demikian, ‘al khasyyah’ adalah al kauf atau rasa takut yang disertai rasa hormat (ta’zim); sedang al khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya , al khasyyah terdiri dari kha’, syin dan ya’ yang didalam tasyrifnya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran, seperti ‘asy syaikh’ berarti pemimpin besar, dan ‘al khaisy’ berarti pakaian yang tebal. Oleh karena itu, kata “al khasyyah” sering digunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam surah (Fatir: 28), (al Ahzab: 39). Adapun ‘al khauf’ dalam ayat surah (an Nahl: 50) digunakan untuk mensifati para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata alkhauf disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun pa ra malaikat itu besar-besar dan kuat tetapi dihadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan “fauqahum” yang berarti Allah itu diatas mereka. Hal ini menunjukkan akan kebesaranNya. Dengan demikan terkumpullah dua unsur makna yang terkandung oleh “al khasyyah” tanpa merusak arti kehebatan para malaikat yaitu “khauf” dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
Diantaranya pula ialah “as sabil” dan “at tariq”. Yang pertama banyak dipakai dalam kebaikan sedang yang kedua hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idafah yang menunjukkan makna dimaksud. Misalnya dalam surah (al Ahqaf : 30). Menurut ar Raghib dalam mufradatnya, “as sabil” adalah “at tariq” atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari “at tariq”.
Demiakian pula “madda” dan “a madda” ar Ragib dalam menjelaskan , kata “imdad”-bentuk masdar dari amadda- banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada ayat : ‘wa amdadna humbifakihatin’ (at Tur: 22), sedang ‘madda’ dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi, misalnya pada ; ‘wanamuddulahu minal ‘adzabi madda’ (Maryam;79).
Pertanyaan dan Jawaban.
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun ia terkadang menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut ‘uslub al hakim’. Sebagai contoh firman Allah ; (al Baqarah: 189). Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih pentingditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu. Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, kerana memang hal itu dianggap perlu, misalnya pada surah (al An’am ayat 64) sebagai jawaban bagi pertanyaan surah (al An’am ayat 63). Terkadang pula lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat dalam surah ( Yunus ayat ;15) sebagai jawaban bagi “I’ti biqurani ghairi hadza aw baddilhu’. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mempu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila dipakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung, dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ” ‘an” . misalnya ” wayas alunaka ‘anir ruhi” (al Baqarah: 85) . dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa ,ia muta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘min’ , namun cara pertama lebih banyak berlaku. Misalnya “was alu ma anfaqtum” (al Mumtahanah: 10) dan “wasalullaha min fadlihi” (an Nisa’ : 32).
Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau kalimay nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar ( terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal. Seperti dalam ayat “alladzina yunfiquna fissarai wadhdharai” (Ali Imran: 134).
Disini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan digunakanlah kalimat nominal, seperti dalam surah (al Hujurat: 15). Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.
Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul tenggelam. Terkadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudari’ (kata kerja masa kini atau masa akan datang), perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s lebih berbobot (ablag) dari pada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim, seperti yang tersurat dalam surah ( az Zariyat : 25). Kata ‘salaman’ dinasabkan karena ia masdar yang menggantikan fi’il. Asalnya “tusallimu ‘alaika salaman” . ungkapan ini menunjukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya, “qala salamun ‘alaikum”. Lafaz ‘salamun’ dirafa’kan karena menjadi mubtada’ (subyek) yang khabar (predikat) nya tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapn ya ialah “‘alaikum salamun” yang menunjukkan tetapnya salam. Disini nampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya. Demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah swt . Disaping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.
‘Ataf
‘Ataf terbagi atas tiga macam :
1.’Ataf kepada lafaz, dan inilah yang pokok bagi ‘ataf.
2.’Ataf kepada mahall (kedudukan kata). Misalnya dalam ayat “innalladzina amanu walladzina hadush shabiun” (al Maidah: 69). Menurut al Kisa’I lafaz “as sabi un” di;atafkan kepada mahall inna dan isimnya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan kalimat.
3.’Ataf kepada makna. Misalnya dalam ayat “laula akhkhartani ila ajalin qaribin fa ashshaddaqa wa akun” (al Munafiqun: 10). Dalam qiraah selain Abu ‘Amr lafaz “akun” dijazmkan. Menurut al Khalil dan Sibawaih lafaz tersebut di’atafkan kepada sesuatu yang dianggap ada(tawahhum) karena makna “Laula akhkhartani�.fa assaddaqa ” sama dengan “Akhkhirni�assaddaq” (tangguhkanlah aku�tentu aku akan bersedekah). Seakan-akan dikatakan: “In akhkhartani��assaddaq wa akun��.” (jika engkau menangguhkan aku �.tentu aku akan bersedekah dan termasuk�.). demikian pula al Farisi menyatakan sebagai qiraah Qubul : “Innahu manyastaqi wayashbir” (Yusuf: 90), dengan membaca sukun “ra”, sebab “man” mauusl mengandung makna syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng’atafkan khabar(kalimat berita) kepada insya’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedang golongan lain membolehkannya. Dengan mengambil contoh ayat “wabasysyiril mu’minina” (as Saff: 13) yang di ‘atafkan kepada ‘tu’minun’ yang terdapat dalam surah ( as Saff : ayat 10-11). Golongan yang tidak membolehkan mengatakan lafaz “tu’minun” sama maknanya dengan lafza “a minu” . dengan demikian ia adalah kalimat khabar yang bermakna insya’. Maka sah lah meng’atafkan kalimat insya’, “wabasysyir” kepadanya, seakan-akan dia katakan ; “aminu wajahidu yutsabbitkumullahu wayanshurukum wabasysyir ya rasulullahil mu’minina bidzalika” (beriman dan berjihadlah, pasti Allah akan memantapkan dan menolongmu. Dan berilah kabar gembira, wahai Rasulullah, orang-orang beriman dengan hal itu). Faedah penggunaan kalimat kabarditempat kalimat perintah (amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
Para ulama berbeda pendapat tentang meng’atafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil. Golongan yang membolehkan berdalil dengan firman Allah pada surah (al Jasiyah : 2-5). Lafaz ” wakhtilafillaili wannahar ��.ayatun liqaumin ya’qiluna” di’atafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil, baik ketika dirafa’kan maupun ketika di nasabkan. Ketika dinasabkan kedua ‘amil itu “inna” dan “fi” yang kedua-duanya digantikan oleh “wawu” ini me-jarr-kan lafaz ” ikhtilafillaili wannahar” dan menesabkan lafaz “ayatin”. Dan ketika dirafa’kan kedua ;amil itu adalah ibtida’ (permulaan kalimat) dan “fi”. Maka “wawu” dalam hal ini merafa’kam lafaz “ayatun” dan menjarkan “ikhtilafin”. Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari.
Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang meng’atafkan kepada damir yang majrur tanpa mengulangi huruf jarr. Golongan yang membolehkan mengajukan argumentasi dengan qiraah hamzah : “wattaqullahal ladzina tasa aluna bihi wal arhami” (an Nisa; 1). Yang menjarrkan lafaz “al arham” karena di’atafkan kepada damir, mereka juga berhujjah dengan firmanNya surah ( al Baqarah: 217) dengan lafaz ” al masjid’ majrur karena di’atafkan kepada damir pada lafaz “bihi”.
Perbedaan antara al – Ita’ dengan al- I’ta’
Terdapat perbedaan antara al- Ita’ ( ( dengan al-I’ta’ () didalam Qur’an. Al Juwaini menjelaskan lafaz “al ita’” labih kuat dari “al I’ta’” dalam menetapkan maf’ulnya. Karena “al I’ta’” mempunyai pola kata mautawa’ah . Dikatakan : “A’tani fa’athautu” ( ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya). Sedang tentang “al ita’” tidak dapat dikatakan ” atani fa ataitu” , karena kalimat ini akan berarti ‘ ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka akupun memberikannya”. Tetapi hendaklah dikatakan ” a tani fa akhadtu” ( ia memberika [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya)
Fi’il atau kata kerja yang mempunyai pola mutawa’ah lebih lemah pengaruh maknanya terhadap maf’ul (obyek) dari pada fi’il yang tidak mempunyainya. Dalam hal yang pertama dapat kita katakan ; “fatha’tuhu fan qatha’a” ( aku memotongnya maka ia pun terpotong), disini nampak jelas bahwa perbuatan pelaku, berhasil tidaknya, bergantung pada keadaan obyeknya; terpengaruh atau tidak. Jika tidak terpengaruh maka ia dipandang tidak ada. Oleh karena itu mak sah dikatakan “fatha’ tuhu faman qatha’a” (aku memotongnya tetapi ia tidak terpotong). Sedang dalam fi’il yang tidak mempunyai pola mutawa’ah tidak sah kita menyatakan demiakian. Karena itu tidak boleh dikatakan ” dharabtuhu fan dharaba aw mandharaba” (aku pukul dia maka ia pun terpukulatau tidak terpukul), juga tidak boleh dikatakan ” fataltuhu fanqatala aw manqatala” ( aku membunuhnya maka iapun terbunuh atau tidak terbunuh), sebab fi’il atau perbuatan seperti ini bila telah dilakukan pelaku maka pasti ada pengaruh konkrit terhadap obyeknya, mengingat bahwa perbuatan pelaku dalam hal fi’il yang tak mempunyai pola mutawa’ah ini tidak bergantung pada keadaan obyeknya. Dengan demikian maka “al ita’” lebih kuat (intens) dari pada “al I’ta’”.
Mengenai hal diatas terdapat bukti-bukti konkrit dalam Qur’an, diantaranya :
-Surah (al Baqarah: 269). Penggunaan kata ” al ita’” (yu’ti, yu’ta, utiya ) dalam ayat ini mengingat bahwa bila hikmah telah tetap pada tempatnya, maka ia akan menetap disitu selamanya.
-Surah (al Hijr: 87)
-Surah (al Kausar: 1). Penggunaan kata “al I’ta’” (a’thainaka) dalam ayat ini karena sesudah al kausar masih terdapat banyak tempat lain yang lebih tinggi mengingat bahwa perpindahan didalam surga itu hanya kepada yang lebih besar. Demikian pula pada firman Allah surah ( At Taubah: 29). Penggunaan kata “al I’ta’” (yu’tu) disini karena jizyah itu bergantung pada sikap kita (kaum muslimin), menerima atau tidak, selain mereka (non muslim0 pun tidak membayarkannya dengan hati rela melainkan karena terpaksa. Dalam kaitannya dengan kaum muslimin tentang zakat digunakanlah kata “al ita’” ini mengandung isyaratbahwa seorang mukmin seharusnya membayar zakat itu dengan kesadaran sendiri secara ikhlas tidak seperti pembayaran jizyah.
Lafaz Fa’ala
Lafaz fa’ala digunakan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, bukan satu perbuatan saja. Jadi pemakaian lafaz ini digunakan untuk meringkas kalimat. Misalnya ayat : “labi’sama kanu yaf’alun” (al Ma’idah : 79), arti lafaz “fa’ala” (yaf’alun ) dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran yang mere ka lakukan. Dan ayat ” fain lam taf’alu walan taf’alu” (al Baqarah: 24). Maksudnya jika kamu tidak mendatangkan sebuah surahpun yang sama dengan Qur’an dan kamu tidak akan dapat mendatangkannya��.apa bila lafaz fa’ala itu digunakan dalam firman Allah maka ia menunjukkan “ancaman keras” misalnya : “alam tara kaifa fa’ala rabbuka biash habil fil” (al Fil; 1) dan : “watabayyana lakum kaifa fa’alna bihim” (Ibrahim: 45).
Lafaz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan dzat Allah dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita’ (terputus) sebagai berikut:
Pertama, “kana” menunjukkan arti “inqita’” sebab ia adalah fi’il atau kata kerja yang memberika arti tajaddud, temporal.
Kedua, “kana” tidak menunjukkan arti inqita’ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam al fiyahnya : “wakana lil madhil ladzi man qatha’a ( “kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak terputus)
Mengenai firman Allah : ‘wakanasy syaithanu lirabbihi kafuran (al Isra’: 270 ar Ragib menyatakan, lafaz “kana” disni menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
Ketiga ‘kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Misalnay firman Allah ” wakanallahu gafurar rahiman” (al Ahzab: 50). Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan firmanNya : ‘kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi” (Ali Imran : 110) dalam al Kasysyaf.
Ibn ‘Atiyah menyebutkan dalam tafsir surah Fatihah, apa bila “kana” digunakan berkenaan dengan sifatsifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur waktu.
Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang benar adalah pendapat Zamakhsyari. Yaitu bahwa ‘kana’ menunjukkan arti betapa eratnya hubungan makna kalimat yang mengikutinya dengan masa lampau, bukan arti yang lain, dan lafaz ‘kana’ sendiri tidak menunjukkan terputus atau kekalnya makna tersebut. Dan jika menunjukkan makna demikian maka hal itu disebabkan ada ‘dalil’ lain. Dengan makna inilah semua firman Allah yang menggunakan lafaz ‘kana’ dalam Qur’an baik tentang sifat-sifatNya atau lainnya, harus diartikan, misalnya :
(an Nisa’: 148)
- (an Nisa’: 130)
- (al Ahzab: 159)
– ( al Anbiya’ : 81) dan
- (al Anbiya’: 78)
Apa bila firman Allah berbicara tentang sifat-sifat manusia dengan lafaz ‘kana’, maka yang dimaksud adalah menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bagi mereka sudah merupakan garizah (naluri) dan tabiat yang tertanam dalam jiwa. Misalnya firman Allah (al Isra’: 11) dan firman Nya (al Ahzab: 72)
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan ‘kana’ dalam qur’an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Qur’an terdapat lima macam ‘kana’ 1.
Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah “wakanallahu ‘aliman hakiman” (an Nisa’; 170) 2.
dengan makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah (an Naml: 48). Inilah makna yang asli diantara makna-makna ‘kana’ , hal itu sebagaimana perkataan “kana zaidun shalihan aw faqiran aw maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya). 3.
dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat : “kuntum khaira ummatin” (Ali Imran: 110) dan “innash shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauqutan” (an Nisa’: 103) 4.
dengan makna masa akan datang, seperti dalam ayat “wayakhafuna yauman kana syarruhu mustathiran” (ad Dhar: 7) 5.
dengan makna sara (menjadi), seperti dalam ayat “wakana minal kafirin” (al Baqarah: 34).
‘kana ‘ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ma sahha wamas taqam” ( tidak sah dan tidak benar), seperti dalam :
-surah (al Anfal : 67)
-surah (at Taubah : 17)
-surah (an Nur : 16)
Lafaz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafaz ‘kada’ : 1.
‘Kada’ sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal nafi’ (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah positif dan negatifnya ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat ‘kada yaf’alu’ adalah qarabal fi’la ( ia menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan) dan makna kalimat ” ma kada yaf ‘alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu” menurut kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demiakian tentu tidak akan diberitakan “kehampirannya”. Apa bila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak hampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal sebagaimana ditunjukkan oleh ayat “ldza akhraja yadahu lam yakad yaraha” (An Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat “lam yaraha” (ia tidak melihatny), sebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya. 2.
“Kada” berbeda dengan fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata “kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” kada yaf’alu” maka artinya ‘ia tidak melakukan’ berdasarkan firman Allah “wa inkadu layaftinunaka” (dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamual Isra : 73, sebab pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “lam yakad yaf’al” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan ayat : ‘fadza bakhuha wama kadu yaf’alun’ (kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melakukannya. Al Baqarah : 71 3.
“Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit, seperti dalam surah al Baqarah : 71 diatas.
dibedakan antara yang berbentuk mudari’, “yakadu” dengan yang berbentuk madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari’ menunjukkan arti negatif, nemun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha” mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada ayat : fadzabakhuha wama kadu yaf’alun” . hal ini karena mereka melakukan penyembelihan tersebut
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 comments: