Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm.  Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang  ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan  arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana. 
Dengan  demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang  disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.Wahbah al-Zuhaili menyebutkan  tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh  adalah ad-dzara’i
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai  dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad
Keempat  sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah,  Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari  Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. 
عَنْ  مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ  لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ  يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟"قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ  رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ  رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ  رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي  رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"
“Dari  Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi  bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia  berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak  terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah  Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul  Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam  ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala  puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa  yang diridhai Rasulullah Saw”
Hal  yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada  dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia  temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab  Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun  berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul  Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia  sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر   berarti berupaya di atasnya. 
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti  yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’  dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari  kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara. 
            Adapun  rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para  mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ . 
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
- Tidak  cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid      apabila keberadaanya  hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena      ‘kesepakatan’  dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati      antara satu  dengan yang lain.
- Adanya  kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum      syara’ dalam suatu  masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok      mereka. Andai  yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid      haramain,  para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,      Mujtahid  ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak       disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan       umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
- Hendaknya  kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat      salah seorang mereka  dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk      perkataan,  fatwa atau perbuatan.
- Kesepakatan  itu terwujudkan atas hukum kepada semua      para mujtahid. Jika  sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan      kespekatan  yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda      sedikit  dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan       kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat
Syarat Mujtahid
            Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
        Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah.  Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid  kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah  
Kehujjahan Ijma’
            Apabila  rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung  seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid  kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka  yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid  mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun  perbuatan baik secara kolompok maupun individu. 
Selanjutnya  mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu  disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin  menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum  masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya  sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]   
Qiyas
          Qiyas  menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya  dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang  ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi  lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]
            Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai  orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,  (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk  perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu  mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)  
            Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
            Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
- Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai       dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al  Qur’an,      hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 
- Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama      sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui      adalanya illat  nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan      tujuan nash  termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu       kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka      menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
- Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas,      yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam      kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai      pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
Kehujjahan Qiyas
            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas  merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari  sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah  baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya  dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
            Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:  
“Dia-lah  yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari  kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak  menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa  benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;  Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak  mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;  mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan  tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi  pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
            Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas  yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi  (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan.  Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui. 
            Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas,  sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam  masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki  tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah  dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
            Sementara diantara dalil sunnah  mengenai qiyas ini  berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang  dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya  ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. 
            Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan. 
            Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
            Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama,  bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk  kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam  menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits  jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya  tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi  saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas
            Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
- Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan      al-maqis alaihi.
- Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut      pula al-maqîs.
- Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash      dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
- Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas      yang dibangun atasnya.  
SUMBER :http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/4/Ijma_dan_Qiyas_Sumber_Hukum_Islam
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Posting Komentar