METODE TAFSIR TAHLILI DAN IJMALI(Sebuah Studi Kritis)Nailurrahman dan ShalehuddinJurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya  
Pendahuluan
al-Qur’an  sebagai mukjizat Nabi  Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi  kemukjizatannya yang luar  biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang  tidak pernah rapuh, tetapi  juga pada ajarannya yang telah terbukti  sesuai dengan perkembangan  zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi  umat manusia dalam mengarungi  kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak  hanya berbicara  tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga  berbicara tentang ilmu  pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat  manusia.
al-Qur’an  diturunkan kepada Nabi  Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan  menggunakan Bahasa Arab  yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan  mengenai dasar-dasar  akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku,  menuntun manusia ke  jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan  tetapi penjelasan itu  tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak  penafsiran,  terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan  sarat makna.
Banyak  ulama tafsir yang telah menulis  beberapa karya tentang metode penafsiran  al-Qur’an. Dari para ulama itu  muncullah berbagai macam model dan  metode penafsiran dalam rangka  menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara  optimal sesuai dengan kemampuan  dan kondisi sosial mereka. Di antara  metode penafsiran yang populer di  kalangan para ulama tafsir adalah  metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metodemuqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik). 
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili danijmali, mengingat dua metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya. 
Metode Tahlili
Secara etimologis, metode tahlili berarti   menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan  menyingkap  seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna  kalimat,  maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaz, tahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah,   dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat  diambil  dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara  bahasa,  dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir  al-Qur’an  yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir  adalah  menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.
Artinya, meyoritas mufassir dalam   menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalu mengikuti tertib urutan   ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Ada dua ciri utama dalam metode tahlili:
Pertama, tafsir bi al ma’thur, yaitu   penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat   dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para   sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau   penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’thur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn   Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir   al-Qur’an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan   dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di  Kairo  pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang  kali.
Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsirbi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para   ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi   persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa   diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka   penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.
Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tafsir sufi,  yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai   oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali   oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran   tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi,  yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab   untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak   ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.   Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an, karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitabMafatih al-Ghayb  karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli   filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan  pada  ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide  filsafat  yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan  al-Qur’an,  dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar  alasan dan dalil  yang ia anggap memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi,  yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an,   dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian   tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan   sebaliknya. Di antara kitab tafsir‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur’an   dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang   dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan   kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi ijtima’i  merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan   kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna   dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili
Keistimewaan  metode ini terletak pada  ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat  menampung berbagai ide dan  gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an.  Jadi dalam tafsir analitik  ini mufassir relatif lebih mempunyai  kebebasan dalam memajukan  ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam  penafsiran al-Qur’an.  Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.
Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa   dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an secara   parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka   peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.
Meskipun demikian, metodologi tahlili  telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya   dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan   sebagainya.
Kritik Metodologis
Menurut Abdul Jalal, ada beberapa problem dalam metode tafsir tahlili: Pertama, bagaimana mengatasi umat Islam yang kurang memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an, karena penggunaan metode tafsir tahlili mengakibatkan   pemahaman terhadap suatu topik atau judul tidak bisa tuntas sekaligus.   Hal itu disebabkan karena ayat-ayat yang membahas topik tertentu   letaknya terpisah-pisah dalam berbagai surat, sehingga penafsirannya pun   terpencar-pencar dalam berbagai tempat. Hal ini tentunya menyulitkan   dalam pencarian konteks penafsiran ayat yang satu dengan yang lainnya   karena harus menelusuri letak ayat-ayat yang semakna.
Kedua, bagaimana menghentikan  kesenjangan antara ajaran al-Qur’an yang berupa  pedoman hidup dengan  pranata kehidupan yang membutuhkan tuntunan Allah  swt. Sebab tuntunan  Allah yang sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an  kurang memasyarakat  karena sulit untuk dipahami oleh masyarakat Islam,  karena  penafsiran-penafsirannya tidak secara topikal/sektoral, sehingga  tidak  bisa terpadu sampai tuntas.
Ketiga, bagaimana  menghindari  kesenjangan yang mengakibatkan orang-orang yang tidak paham  tuntunan  Allah tadi lalu meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dengan  beranggapan  bahwa ajaran itu tidak singkron dengan alam kehidupan pada  zaman  kemajuan ilmu dan teknologi sekarang ini.
al-Farmawi menambahkan, para penafsir model tahlili ada yang terlalu berbelit dengan mnguraikan secara panjang lebar, dan ada pula yang terlalu sederhana dan terlalu ringkas. Jamal al-Banna (saudara Hasan al-Banna) memberikan komentar terhadap para mufassir yang memiliki kecenderungannya untuk melakukan penafsiran al-Qur’an bahwa kekeliruan terbesar yang dilakukan oleh kelompok mufassir metode tahlili adalah   keasyikan mereka dalam berdebat sesuai dengan spesialisasi   masing-masing, dan obsesi mereka yang berlebihan dalam mempertahankan   argumentasinya. Mereka lupa untuk menunjukkan spirit al-Qur’an itu   sendiri, bahwa keseluruhan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu terjalin   menjadi sebuah kitab utuh yang menghidupkan, membangkitkan dan   memberikan tuntunan ke arah pencerahan umat manusia. Yang lebih   mengkhawatirkan lagi, lanjutnya, adalah spesialisasi para ulama di   bidang tertentu membuat para ulama tafsir terpola ke dalam format   tertentu.
Kemudian Jamal al-Banna memberikan contoh dengan melancarkan kritikannya terhadap mufassir yang dengan keahlian bahasanya menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Zamakhshari. Ia mengatakan:
“cukuplah kita mengamati al-Kashshaf karya al-Zamakhshari. Dari situ dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli gramatika, morfologi, balaghah,   dan ilmu bahasa lainnya. Perhatian pertamanya terhadap al-Qur’an   misalnya, tertuju pada pembahasan dan studi mendetil tentang metafora (isti’arah), alegori (majaz), kata-kata asing dalam al-Qur’an (Gharib al-Qur’an),   gramatika, morfologi, dan lain sebagainya. Dengan pengamatan yang   seksama atas karyanya, suatu ketika anda akan dibawa pada suatu   kesimpulan, bahwa yang penting baginya dari al-Qur’an adalah bagaimana   menjadikannya sebagai ajang untuk menerapkan ilmu bahasa yang dia   kuasai. Sementara makna-makna ayat dan tema al-Qur’an menjadi terpisah   dari sisi penjelasan dan ulasannya.”
Metode Ijmali
Metode ijmali (global)  ialah  metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara  ringkas dan  padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap  ayat  al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan   pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan   hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya   untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan  mudah  dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang  yang  memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang   berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan   setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai   obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga   masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan   tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir   yang dihasilkan dengan memakai metodeijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan.
Ciri Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada: (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak   banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum,   meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak   luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Keistimewan dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap  metode tentu saja memiliki  kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam  menguak makna al-Qur’an ada  yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna  dan pesan dasar yang ingin  disampaikan oleh al-Qur’an.
Kelebihan pada metode ijmali,   terletak pada: (1) proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat   ringkas serta bersifat umum, (2) terhindar dari upaya-upaya penafsiran   yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan (3) bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Adapun kekurangan metode ijmali  adalah: (1) menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, (2) tidak   ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model   penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat   cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir,   dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang   tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang   sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan   analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak   berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah   ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca   harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang   memberikan petunjuk hidup.
Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah; Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani, dan Tafsir li al-Imam al-Jalalayn,   karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti. Karena   kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama,   yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun  demikian, seiring perkembangan  zaman yang notabene menuntut adanya  perubahan pola dan paradigma dalam  melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.
Kritik Metodologis
Dalam metode tafsir ijmali,   teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba   membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya   dipandang pada sisi zahir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara   pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya   melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan   pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan   disampaikan oleh teks.
Metode ijmali memakai   pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas   gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada   substansi teks, misalnya dalam tafsir Jalalayn yang ditulis dengan metode ijmali. 
Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode tahlili dan ijmali,   dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep   penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang   dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang   ditulis dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali yang   muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap   menjadi khazanah yang sangat berarti bagi Islam dan kaum Muslimin.
Daftar Pustaka
Al-Banna, Jamal, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, (Terj.) Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Dhahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Mush’ab Ibnu Umair al-Islamiyah, 2004.
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Jalal. Abdul, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir, (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 1987.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Terj.) Taufik Adnan Amal, Jakarta: CV Rajawali, 1991.
Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 17.
Abdul Hayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’iy (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an (Terj.) Taufik Adnan Amal (Jakarta: CV Rajawali, 1991), 265.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 71-72.
Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Maktabah Mush’ab ibnu Umair al-Islamiyah, 2004), 139.
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakik, 71-72.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 24-27.
Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir, 18.
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terj.) Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12.
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern (Terj). Novriantoni Kahar (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 38-40.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 24-27

 
 
 
 
0 comments:
Posting Komentar